Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian keterangan yang jelas dari Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang-benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan.” (QS. al-Baqarah: 257)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’aam: 122)
Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al-Qur’an dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala di dalam firman-Nya (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman- merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 38)
A. Tauhid Intisari Ajaran al-Qur’an
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di akherat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akherat. Maka itu adalah hukuman bagi orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh bagian al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Secara keseluruhan al-Qur’an mengandung penetapan tauhid dan penolakan atas lawannya. Mayoritas ayat mengandung penetapan dari Allah terhadap tauhid uluhiyah dan keharusan untuk memurnikan ibadah semata-mata untuk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Di dalamnya juga diberitakan bahwasanya segenap rasul tidaklah diutus melainkan untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan bahwasanya tidak ada tujuan Allah dalam menciptakan jin dan manusia selain agar mereka beribadah kepada-Nya. Dikabarkan pula bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul yang diutus bahkan fitrah dan akal sehat manusia; semuanya telah menyepakati pokok ini. Yang hal itu merupakan pokok yang paling mendasar diantara seluruh pokok ajaran agama. Dan barangsiapa yang tidak beragama dengan agama ini -yang pada hakikatnya adalah pemurnian ibadah kepada Allah, hati dan juga amalan, untuk Allah semata- maka seluruh amalnya sia-sia.” (lihat al-Qowa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
B. Metode al-Qur’an Dalam Menetapkan Keesaan Pencipta
Syaikh Shalih al-Fauzan menerangkan 3 metode al-Qur’an dalam menetapkan hal ini:
- Suatu perkara yang sudah pasti bahwa sesuatu yang baru ada maka pasti ada yang menciptakannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa ada sesuatu sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan?” (QS. ath-Thur: 35). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin makhluk tercipta begitu saja tanpa ada pencipta, atau bahkan dia menciptakan dirinya sendiri, itu lebih tidak mungkin lagi. Maka hanya ada satu kemungkinan bahwa mereka ada karena diciptakan oleh Allah semata
- Keteraturan alam semesta ini menunjukkan bahwa ia memiliki satu pencipta dan pengatur yang mengatur segala sesuatu yang ada di dalamnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidaklah mengangkat seorang anak pun dan tidak ada bersama-Nya sesembahan yang lain -yang benar- sebab jika ada niscaya setiap sesembahan itu akan pergi membawa ciptaannya dan sebagiannya tentu akan mengalahkan yang lain.” (QS. al-Mukminun: 91)
- Kepatuhan segenap makhluk dalam menjalankan tugasnya masing-masing di alam semesta ini. Oleh sebab itu tatkala berdialog dengan Fir’aun Nabi Musa ‘alaihis salam mengungkapkan hal ini kepadanya. Allah ta’ala menceritakan (yang artinya), “Dia (Fir’aun) berkata: “Siapakah Rabb kalian berdua wahai Musa?” Musa pun menjawab: “Rabb kami adalah yang telah memberikan penciptaan kepada seluruh makhluk-Nya dan kemudian menunjuki mereka.” (QS. Thaha: 49-50). Ini semua Allah beberkan di dalam al-Qur’an dalam rangka mewajibkan manusia untuk beribadah kepada Allah semata (bertauhid uluhiyah). Barangsiapa yang tidak melaksanakan tauhid uluhiyah maka dia bukanlah seorang muslim (diringkas dari at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-‘Aali, hal. 32-35)
C. Metode Penetapan Tauhid Di Dalam al-Qur’an
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah telah menyebutkan berbagai macam metode al-Qur’an dalam menyerukan tauhid uluhiyah. Diantaranya adalah:
- Perintah untuk beribadah kepada-Nya dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Sebagaimana dalam ayat (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36). Dalam firman-Nya (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian…” Sampai ayat, “Maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 21-22)
- Pemberitaan dari Allah bahwasanya makhluk diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
- Pemberitaan bahwasanya Allah mengutus segenap rasul untuk mengajak beribadah kepada-Nya dan melarang penyembahan kepada selain-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang berseru-: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
- Perintah untuk bertauhid uluhiyah berdasarkan pengakuan terhadap keesaan Allah dalam hal rububiyah, penciptaan, dan pengaturan alam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, akan tetapi sujudlah kepada Yang telah menciptakannya.” (QS. Fushshilat: 37). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah yang menciptakan itu sama dengan yang tidak menciptakan?” (QS. an-Nahl: 17)
- Perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan landasan keesaan Allah dalam hal sifat-sifat kesempurnaan; yang hal itu tidak dimiliki oleh sesembahan-sesembahan orang musyrik (selain Allah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka beribadahlah kepada-Nya dan teruslah bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Milik Allah nama-nama yang terindah itu, maka berdoalah kepada Allah dengannya.” (QS. al-A’raf: 180). Allah menceritakan dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya (yang artinya), “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak merasa cukup darimu barang sedikitpun.” (QS. Maryam: 42). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Jika kalian berdoa kepada mereka, maka mereka tidak akan bisa mendengar doa kalian.” (QS. Fathir: 140)
- Pembuktian kelemahan sesembahan-sesembahan orang musyrik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak bisa menciptakan apapun, sementara mereka sendiri justru diciptakan. Tidak mampu untuk memberikan pertolongan kepada mereka. Menolong diri mereka sendiri pun tidak mampu.” (QS. al-A’raf: 191-192). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Serulah sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian sangka [benar] itu. Karena mereka tidaklah kuasa untuk menyingkap bahaya dari kalian, dan tidak sanggup merubah apa-apa.” (QS. al-Israa’: 56)
- Pembuktian kebodohan orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memenuhi seruannya hingga hari kiamat, sedangkan mereka itu dari doa yang mereka panjatkan adalah melalaikan.” (QS. al-Ahqaf: 5)
- Penjelasan mengenai akibat buruk yang diterima oleh orang-orang musyrik serta keadaan yang mereka alami bersama dengan sesembahan-sesembahan mereka di akherat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan pada hari kiamat nanti mereka/sesembahan-sesembahan itu akan mengingkari syirik yang kalian lakukan.” (QS. Fathir: 14)
- Bantahan Allah kepada orang-orang musyrik yang mengangkat perantara dalam beribadah kepada Allah. Allah tegaskan bahwa seluruh syafa’at adalah milik-Nya, tidak diminta kecuali kepada-Nya, dan tidak ada yang bisa memberikan syafa’at kecuali dengan izin-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka mengangkat selain Allah sebagai pemberi syafa’at, maka katakanlah; meskipun seandainya mereka itu tidak memiliki apa-apa dan tidak pula berakal. Katakanlah; seluruh syafa’at itu hanya milik Allah. Milik-Nya kerajaan langit dan bumi.” (QS. az-Zumar: 43-44). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya.” (QS. al-Baqarah: 255)
- Penjelasan bahwasanya sesembahan selain Allah tidak menguasai sedikit pun kemanfaatan bagi orang yang menyembahnya. Apabila demikian keadaannya maka mereka sama sekali tidak berhak untuk disembah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Serulah siapa pun yang kalian sangka layak disembah selain Allah, padahal mereka itu tidak memiliki kekuasaan seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka juga sama sekali tidak punya peran serta dalam penciptaan langit dan bumi, dan tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (QS. Saba’: 22)
- Allah memberikan berbagai perumpamaan di dalam al-Qur’an untuk menjelaskan betapa besar kebatilan syirik. Diantaranya adalah firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah maka seolah-olah dia terjatuh dari langit dan kemudian disambar oleh burung atau dibawa pergi oleh tiupan angin ke tempat yang sangat jauh.” (QS. al-Hajj: 31) (diringkas dari al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 43-47)
D. Surat al-Fatihah dan Tauhid
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Surat ini mengandung makna-makna yang agung. Di dalamnya terkandung ketiga macam tauhid. Yang pertama adalah ‘al-Hamdu lillahi Rabbil ‘alamin’ di dalamnya terkandung tauhid rububiyah. Lalu ‘ar-Rahmanir Rahim, Maaliki yaumid diin’ di dalamnya terkandung tauhid asma’ wa shifat. ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in’ di dalamnya terkandung tauhid ibadah. Sehingga ia telah mencakup ketiga macam tauhid tersebut.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 7 cet. Dar al-Imam Ahmad)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum mulhid/atheis yang menganggap alam semesta ini tidak memiliki pencipta. Di dalam surat ini terkandung bantahan bagi mereka tatkala ia menetapkan bahwa alam memiliki Rabb yang menciptakannya, sebagaimana ditegaskan dalam kata ‘Rabbul ‘alamin’. Rabb bermakna yang mencipta dan memelihara seluruh makhluk dengan segala bentuk kenikmatan. Dia lah yang memperbaiki dan menguasainya. Semua makna ini telah termasuk dalam kata Rabb. Sehingga di dalamnya telah terkandung bantahan bagi kaum mulhid/atheis.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 8-9 cet. Dar al-Imam Ahmad)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Iyyaka na’budu mengandung pemurnian ibadah untuk Allah semata; sehingga di dalamnya terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang menyertakan selain Allah dalam beribadah kepada-Nya. Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi berbagai kelompok umat ini yang melenceng dari jalan kebenaran semacam Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Asya’irah; yang mereka tersesat dalam masalah takdir. Ia juga mengandung bantahan bagi orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah; yaitu kaum Mu’aththilah yang menolak nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana halnya kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, dan lain sebagainya. Setiap kelompok yang menolak semua sifat Allah ataupun sebagiannya, maka surat ini membantah mereka semua.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 9-10 cet. Dar al-Imam Ahmad)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in’. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)